Ticker

6/recent/ticker-posts

Citizenship Education di AS, Inggris dan Indonesia|Studi Komparatif

Gardanews.my.id - Kajian lahirnya civic education di berbagai negara memiliki tujuan mencari, mengorganisasikan, mempelajari, menyajikan, dan mengevaluasi (SOLPE) perkembangan civic education, sehingga pada jayanya nanti dapat dijadikan kajian untuk paradigma civic education di Indonesia. Untuk memulai kajian ini, tentunya kita harus mengetahui latar belakang perlunya mengkaji yaitu seperti yang dikemukakan oleh Cogan (1998:11) yang dikutip oleh Winataputra dan Budimansyah (2007), rekomendasi studi civic education dinyatakan bahwa : ...future educational policy must be based upon a conception of what we describe as multidimentional citizenship, dengan segala implikasinya terhadap semua aspek pendidikan.
Dari visi Asian Educator Leader (Lee;1999) dikutip dari Civic Education (Winataputra dan Budimansyah, 2007 :3) pendidikan kewarganegaraan dalam era globalisasi perlu diarahkan pada pengembangan kualitas warga Negara yang mencakup spiritual development, sense of individual responsibility, and reflective and autonomous personality, yang seyogyanya mengembangkan visi globalization, localization, and individualization for multiple intelligence. Visi tersebut pada dasarnya terpusat pada pengembangan learning intelligence dalam dimensi-dimensi social, cultural, political, economic, and technological intellegences, sebagaimana dikenal secara utuh dalam Pentagon theory of contextualized Multiple Intellegence (Cheng, 1999:7).
Kajian civic education di berbagai Negara menunjukkan pada visi yang hampir sama, namun kita perlu melihat latar belakang dan cara pencapaian tujuan tersebut dengan kontekstual Negara mereka.

Citizenship Education di Amerika dan Inggris; Keunggulan dan Kelemahan
Amerika Serikat
Amerika Serikat memiliki paradigma civic education dan citizenship education, dimana dalam kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pemikiran tentang social studies/social studies education.USA menempatkan Citizenship Education sebagai esensi social studies seperti tampak dalam rumusan misinya, yakni to promote civic competence, dan tujuan to help yaoung people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the publicgood as citizens of a culturally diverse, democratic society, in an interdependent world. Upaya membangun kompetensi warga Negara (civic competence), dan membantu para siswa/pemuda mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang jernih dan bernalar untuk kepentingan umum sebagai warga negara dalam masyarakat yang berbhineka dan mendunia.  Program pendidikan tersebut memiliki saling keterkaitan konseptual. Citizenship education atau education for citizenship merupakan istilah generic yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media.
Untuk pendidikan anak usia sekolah ditegaskan oleh Butts (1988) jika para siswa diharapkan untuk memenuhi kewajiban dan haknya sebagai warga Negara, they must develop the ability to make careful judgements based on historical perspectives; a meaningful perspectives, and a meaningful conception on the basic democratic values underlying citizenship in or constitutional order.
Di USA sejak abad ke-18 menjadikan civic education sebagai wahana proses Amerikanisasi dan pendidikan demokrasi melalui social studies yang memiliki perkembangan historis-pedagogis dan historis epistemologis dengan tiga tradisi pedagogis yakni citizenship transmission sebagai social science maksudnya para siswa perlu mendapatkan pengetahuan sebagai self-evident truth atau kebenaran yang diyakini sendiri. Karena itu tugas guru menurut tradisi ini adalah menyampaikan pengetahuan yang telah diyakini kebenarannya itu. Dengan cara ini kelangsungan hidup masyarakat diyakini dapat dipertahankan. Dan reflective inquiry yang pada dasarnya menekankan pada upaya melatih siswa agar dapat mengambil keputusan dalam konteks sosial politik atas asumsi bahwa demokrasi selalu menuntut warga negara untuk turut serta secara aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Mengingat pentingnya dalam pengembangan warganegara, diyakini perlunya civic educationdiajarkan di sekolah dengan alasan bahwa :the citizens need a deeper understanding of the American political system than is currently commonplace, both as a framework for judgment  and as a common ground for public discussion(Quigley,dkk,1991:4)- warganegara memerlukan pengertian yang lebih mendalam daripada kenyataan yang ada mengenai sistem politik Amerika baik sebagai kerangka berpikir dalam mengambil keputusan maupun sebagai landasan dalam diskusi umum.  Dalam konteks ini peranan dan tanggungjawab sekolah  adalah dalam fostering civic virtue and a sense of citizenship dan membantu para siswa  to see the relevance of a civic dimension for their lives(Quigley,dkk,1991:5)- memperkuat kebajikan warganegara dan kesadaran sebagai warganegara dan membantu siswa untuk melihat kesesuaiannya dari aspek kewarganegaraan dalam kehidupannya.          

Keunggulan 
Di Amerika kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai inti yang terintegrasi. Dan setiap beban belajar bervariasi untuk setiap Negara bagian dan beban belajar perminggu diserahkan kepada pihak sekolah.
Menempatkan Citizenship Education sebagai esensi social studies seperti tampak dalam rumusan misinya, yakni to promote civic competence, dan tujuan to help yaoung people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the publicgood as citizens of a culturally diverse, democratic society, in an interdependent world. Upaya membangun kompetensi warga Negara (civic competence), dan membantu para siswa/pemuda mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang jernih dan bernalar untuk kepentingan umum sebagai warga negara dalam masyarakat yang berbhineka dan mendunia.  
Mencetak pribadi yang pluralis, toleran dan memahami nilai demokratis (wahana pendidikan demokrasi).

Kelemahan
Sederhananya, sekolah-sekolah di Amerika Serikat tidak mengajarkan warga negara di masa depan bagaimana cara terlibat secara terhormat mengatasi perbedaan politik mereka.
kesempatan untuk mendiskusikan masalah sosial dan kejadian saat ini lebih umum untuk siswa kulit putih dan siswa yang berencana untuk kuliah daripada anak-anak berkulit hitam dan mereka yang tidak kuliah. (Citizenship Education tidak merata)
Pemahaman demokrasi liberal mengarah pada karakter individual
Inkonsistensi civic education Misalnya, siswa Afrika-Amerika dan Latino jauh lebih mungkin daripada siswa kulit putih dihukum karena pelanggaran yang sama.
Pendidikan Kewargaan sifatnya tidak terpusat tapi terdesentralisasi.

United Kingdom (UK)
UK, baru benar-benar memikirkan pentingnya pendidikan demokrasi secara sistemik pada tahun 1996 untuk warganegaranya, dan menjadi negara pertama asal imigran yang membangun Amerika Serikat dan mengembangkan pemikiran civic Education disana. Di UK citizenship education mendapat perhatian sebagai pendidikan demokrasi pada 19 November 1997 (QCA, 1998:4) dengan menghasilkan sebuah dokumen yang dijadikan master ideas dan basic paradigm yaitu educational for citizenship and the teaching of Democracy in schools berfungsi sebagai rujukan dan rambu-rambu pengembangan dan pelaksanaan citizenship education.
Dalam dokumen tersebut citizenship diartikan sebagai keterlibatan dalam kegiatan public oleh warga negara yang memiliki hak untuk itu, termasuk debat publik dan secara langsung atau tidak langsung, dalam pembuatan hukum dan keputusan negara. Maka yang dimaksud dengan warga Negara adalah a highly educated citizen democracy atau warga Negara  demokratis yang terdidik, seperti yang ditegaskan oleh  the Lord Chancellor bahwa we should not, must not, dare not, be complacent about the health of and the future of British democracy. Unless we become a nation of engaged citizens, our democracy is not secure (QCA, 1998:8). Tidaklah mungkin dicapai suatu demokrasi Inggris yang sehat dan prospektif, kecuali  dikembangkannya Inggris sebagai bangsa yang memiliki keterlibatan warganegara yang penuh. Oleh karena itu ditegaskan bahwa Citizenship education must be education for citizenship- pendidikan kewarganegaraan haruslah menjadi pendidikan untuk membangun jati diri kewarganegaraan; dengan pusat perhatian pada tiga strands atau garapan, yakni social and moral responsibility, community involvement and political literacy- atau pengembangan tanggung jawab sosial dan moral, perlibatan kemasyarakatan, dan kemelekpolitikan.
Bagi para siswa diyakini akan dapat memberdayakan mereka untuk berpartisipsi secara efektif dalam masyarakat sebagai ...active, informed, critical and responsible citizens. Di lain pihak bagi guru akan dapat memfasilitasi mereka untuk menjadikan citizenship education yang benar-benar coherent  secara intelektual maupun secara kurikuler dalam konteks citizenship education di sekolah. Sementara itu, bagi sekolah diyakini akan menjadi dasar yang kuat untuk mengkoordinasikan proses pembelajaran dalam kaitannya dengan kegiatan dalam masyarakat lokal  sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengembangan citizenship education untuk  para siswa di sekolah itu. Sedangkan untuk masyarakat, diyakini bahwa warganegara yang aktif dan melek politik akan dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap  kegiatan pemerintahan dan masyarakat dalam berbagai tingkatan. Pada akhirnya juga diyakini bahwa ...a citizenship education  which encouraged a more interactive role between schools, local communities, and youth organisations could help to make local government more democratic, open and responsive.
Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan untuk  kewarganegaraan, karena itu bukanlah hanya menekankan pada pengetahuan kewarganegaraan dan masyarakat kewargaan, tetapi juga pada pengembangan nilai, keterampilan, dan pengertian.
Jatidiri citizenship education model UK  yang di dalam perspektif internasional (Kerr:1999) termasuk model thick citizenship education yang memiliki visi maksimum  yakni education FOR citizenship dengan modus across  curriculum.

Keunggulan
Civic education dan citizenship education tidak dipisahkan dari social studies karena memang anatara kedua program pendidikan tersebut memiliki saling keterkaitan konseptual.
Citizenship education mendapat perhatian yang sungguh-sungguh sebagai wahana pendidikan demokrasi pada 1997 (QCA,1998:4). Persisnya pada tanggal 19 november 1997. Educational for citizenship and the teaching of democracy in school 
Mencetak pribadi yang pluralis, toleran dan memahami nilai demokratis (wahana pendidikan demokrasi).
Pengembangan nilai, pengertian dan ketrampilan 
Jatidiri citizenship education model UK yang di dalam perspektif internasional (Kerr:1999) termasuk model thick citizenship education yang memiliki visi maksimum yakni education FOR citizenship dengan modus across curriculum.

Kelemahan
Di Inggris untuk bahan kajian atau  mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan digunakan istilah education for citizenship, kedudukan dalam program pendidikan tidak wajib yang dikemas dalam bentuk program lintas kurikulum.
Tidak merata dan inkonsisten dengan praktik unggulan yang dicampur dengan kurang baik.
Pemahaman demokrasi liberal menciptakan karakter individual
Didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya mudah diukur
Indonesia
Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantive dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warga Negara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan.
Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasa warsa (1962-1998) menunjukkan ketidakajegan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Ketidakajegan konsep tersebut diantaranya seperti : Civics pada tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik, civics tahun 1968 sebagai unsure dari pendidikan kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969  yang tampil dalam bentuk  pengajaran konstitusi  dan ketetapan  MPRS;  PKN tahun 1973 yang diidentikkan  dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggan­tikan  PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn  1994  sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan PKN  yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripati­kan  dari Pancasila dan P4. Krisis operasional,  yang  dalam banyak hal merupakan dampak dari krisis konseptual tercermin dalam  terjadinya perubahan isi dan format  buku pelajaran, penataran  guru yang tidak artikulatif, dan  fenomena kelas yang belum  banyak  bergeser dari  penekanan  pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.
Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio cultural institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
 
Metode Pembelajaran Civis Education Amerika, Inggris,dan Indonesia
Di Inggris untuk bahan kajian atau mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan digunakan istilah education for citizenship, kedudukan dalam program pendidikan tidak wajib yang dikemas dalam bentuk program lintas kurikulum.   Di Amerika kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai inti yang terintegrasi. Dan setiap beban belajar bervariasi untuk setiap Negara bagian dan beban belajar perminggu diserahkan kepada pihak sekolah. Sedangkan di Indonesiapun sama wajib untuk diajarkan. Namun  secara terseparasi dalam satu mata pelajaran tersendiri. Penerapannyapun sama masuk dalam kajian social studies(IPS).  

Metode Pembelajaran Pkn yang sesuai dengan aspek civic knowledge-kognitif-skills-diposition
Kalau merujuk kepada tujuan PKn, maka guru dituntut untuk menerapkan strategi pembelajaran yang mampu memberikan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), sikap kewarganegaraan (civic dispositions), dan keterampilan kewarganegaraan (civic skills) secara terintegrasi. Lulusan yang diperlukan tidak sekedar mampu mengingat dan memahami informasi tetapi juga yang mampu menerapkannya secara kontekstual melalui beragam kompetensi. Di era pembangunan yang berbasis ekonomi dan globalisasi sekarang ini diperlukan warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizenship), yang mampu memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai dan menggunakan informasi, serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam pengambilan keputusan.
Pembelajaran aspek civic knowledge mempertegas pemahaman kita bahwa hakikat pembelajaran PKn adalah wahana pengembangan berpikir kritis peserta didik, bukan pembelajaran yang bersifat hafalan.Berpikir kritis pada hakikatnya mengembangkan unsure pemikiran rasional dan empiris berdasar pengetahuan ilmiah.Berpikir kritis merupakan reaksi atas berpikir tradisional yang cenderung menutup-nutupi realitas, hanya untuk mendukung status quo serta kelestarian kekuasaan yang ada.

Pembelajaran sebagai wahana berpikir kritis sebenarnya telah menjadi tradisi dalam sosial studies dimana pendidikan kewarganegaraan (civil education) sebagai intinya, yaitu tradisi “reflective inquiry”. Melalui tradisi ini, pembelajaran sesungguhnya  erpusat pada siswa, karena siswalah yang menjadi subjek pembelajaran untuk melakukan sendiri kegiatan menganalisis, mengkaji, beragumentasi, berpendapat, dan member penilaian akademik atas materi PKn sedang guru bertugas memfasilitasi prose situ. Dengan demikian pendekatan PKn yang ideal menekankan pada pendekatan yang berpusat pada siswa (student centered approach). 
strategi pembelajaran bergerak antara strategi ekspositori dan strategi discovery (exposition discovery learning). Strategi ekspositori mencerminkan pendekatan yang berpusat: pada guru, sedang strategi discovery merupakan cerminan dari pembelajaran yang berpusat pada siswa. PKn yang ideal menekankan pendekatan yang bersifat student centered dengan demikian strategi yang mendukungnya adalah strategi pembelajaran discovery.

Selain pilihan antara strategi ekspositori  dan strategi discovery (exposition-discovery learning), strategi pembelajaran dapat dibedakan pula antara strategi pembelajaran deduktif dan strategi pembelajaran induktif. Pendekatan deduktif merupakan pendekatan yang mengutamakan penalaran dari umum ke khusus.Pendekatan induktif merupakan pendekatan yang menyajikan penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang konkrit (dari khusus menuju umum).

Model pembelajaran civic skills-disposition
Ketrampilan kewarganegaraan (civic skills/CS) dan karakter kewarganegaraan (civic dispositions/CD) 

merupakan faktor determinan dalam upaya mewujudkan warga negara yang baik. Dilihat dari perspektif 

integrasi politik CS dan CD merupakan aspek penting dalam mengembangkan perilaku integratif yang 

berkontribusi secara positif terhadap integrasi bangsa (nation building) dan integrasi elite dengan rakyat. 

Keberhasilan mengembangkan perilaku integratif dalam diri warga negara dapat mengembangkan kehidupan 

berbangsa dan bernegara yang produktif untuk mewujudkan kebaikan bersama sebagaimana yang 

dikehendaki dalam cita-cita nasional dan tujuan bernegara. 

Alwi Sahlan,Pemerhati dan Praktisi Pendidikan Kewarganegaraan


DAFTAR PUSTAKA  
Ajegbo, K., Kiwan D dan Sharma, S (2007) Tinjauan Kurikulum:Keragaman dan Kewarganegaraan. PPLS/D35/0107/14.London:Departemen Pendidikan dan Keterampilan
http://sukmaliah.blogspot.com/2015/06/civiceducation-a.html?m=1   Sabtu, 10 Mei 2019, pkl 20.30 
http://pinkyredpurple.blogspot.com/2011/05/perkembangan-pendidikan-kewarganegaraan.html?m=1  Jumat, 09 Mei 2019, pkl.16.22
Abdul Azis & Sapria, (2011) Konsep, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan
Kerr, D. (1999) Citizenship Education: An International Comparison, London: Qualification and Curriculum Authority Kerr, D. (1999) Citizenship Education: An International Comparison, London: Qualification and Curriculum Authority 
http://ariefchandramukti.student.umm.ac.id/2016/10/07/keunggulan-dan-perkembangan-civic-hukum-pkn/  Ahad, 12 Mei 2019, pkl.19.00 
Winataputra, Udin S & Budimansyah, Dasim. (2007). Civic Education. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana Program Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia
http://hamidani18.blogspot.com/2014/10/pembelajaran-pkn-untuk-mengembangkan.html?m=1  senin, 13 Mei 2019 pkl.01.30