Ticker

6/recent/ticker-posts

Puasa dan Pendakian Spiritual

Spirit Ramadhan 1442 H (Bag. 1)
"PUASA DAN PENDAKIAN SPIRITUAL"
Oleh: #kaP

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Allohumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala aali sayidina Muhammad

"MARHABAN YA RAMADHAN"

       Puasa merupakan momentum untuk merasakan kehadiran Tuhan. Dalam setiap tarikan nafas, kita mengingat Tuhan. 
Ibadah puasa merupakan komunikasi makro dengan Tuhan. Ibadah puasa menjadi ajang pendakian spiritual,

Ibadah puasa merupakan instrumen untuk menggerakkan diri melakukan transformasi menjadi pribadi yang berintegritas.

Puasa adalah syariat yang telah diwajibkan oleh Allah SWT sejak manusia hadir di muka bumi.
Ibadah ini telah disyariatkan sejak zaman nabi Adam AS hingga Rasul terakhir Nabi Muhammad SAW.

Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba 'alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba 'alallażīna ming qablikum la'allakum tattaqụn.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
(Quran Surat Al-Baqarah Ayat 183)

       Puasa memiliki manfaat yang penting bagi manusia dilihat dari berbagai aspeknya. Dari aspek kesehatan misalnya para pakar kesehatan dunia mengakui beragam manfaat aktivitas berpuasa  bagi tubuh dan mental manusia.

Hasil penelitian dan pengkajian #kaP, menyimpulkan berbagai hikmah puasa, antara lain:

 - Pertama tofeel better physically and mentally (merasa lebih baik secara fisik dan mental). 

- Kedua, to look and feel younger (melihat dan merasa lebih muda). 

- Ketiga, to clean out the body (membersihkan badan).

- Keempat to lower blood pressure and cholesterol levels (menurunkan tekanan darah dan kadar lemak). 

- Kelima, to get more out of sex (lebih mampu mengendalikan seks). 

- Keenam, to let the body health itself (membuat badan sehat dengan sendirinya).

- Ketujuh, to relieve tension (mengendorkan ketegangan jiwa). 

- Kedelapan, to sharp the senses (menajamkan fungsi indrawi). 

- Kesembilan to gain control of oneself (memperoleh kemampuan mengendalikan diri sendiri).

- Dan kesepuluh to slow the aging process / untuk memperlambat proses penuaan. 

       Aktivitas berpuasa ternyata tidak hanya ditemukan pada manusia saja, sejumlah hewan pun melakukannya. 
Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa hewan melakukan puasa dengan beberapa tujuan. 

Berikut lima tujuan hewan melakukan aktivitas puasa:

1. Tujuan pertama untuk bertahan hidup seperti hibernasi pada buaya dan beruang dalam menghadapi perubahan musim. 

2. Tujuan kedua,istirahat dan peremajaan fisik seperti puasanya ular ketika berganti kulit. 

3. Tujuan ketiga mempersiapkan bekal demi perjalanan yang berat dan panjang seperti puasanya unta dalam  melewati ganas dan ekstrimnya perjalanan di padang pasir. 

4. Tujuan keempat kelangsungan regenerasi seperti puasanya ayam mengerami telurnya.

5. Dan  tujuan kelima perubahan jatidiri seperti yang terjadi pada ulat yang berpuasa menjadi kupu kupu.

       Dari beberapa model berpuasanya hewan tersebut nampaknya kita bisa mengambil pelajaran berharga dari puasanya ulat menjadi kupu-kupu. 
Dalam istilah zoologi proses perubahan ini dinamakan metamorfosis sempurna dimana suatu hewan berubah secara revolusioner dan sama sekali berbeda dari sebelumnya baik bentuk fisik, makanan maupun habitatnya.

Hikmah yang bisa diambil dari hal ini adalah dalam berpuasa seharusnya manusia mengalami  apa yang penulis sebut "transformasi eksistensial " dari keterikatan kepada dunia material menuju kebebasan dunia spiritual. 

Dari dominasi kefanaan menuju keabadian, dari kelamnya reruntuhan alam semesta menuju kecemerlangan cahaya Tuhan yang luas membentang dibalut sifat Jalaliyyah (keagungan) dan Jamaliyyah(keindahan)-Nya. 

Dari jiwa "ulat" yang terbatas kepada jiwa "kupu-kupu" yang terbang bebas menembus cakrawala dan memancarkan pesona keindahan. 
Disinilah urgensi dan makna spiritual puasa.

       Tujuan spiritualitas puasa adalah mengantarkan manusia untuk mencapai kesadaran tertinggi, yaitu kesadaran spiritual. 

Kesadaran spiritual adalah suatu kesadaran bahwa manusia bukan badan, bukan prana (kekuatan hidup), bukan pikiran, bukan emosi, bukan memori, melainkan spirit. Maka manusia hendaknya tidak mengidentikkan dirinya dengan semua unsur tersebut.

Ketika manusia sadar bahwa dirinya bukan badan, dia tidak perlu mengidentikkan dirinya dengan selera dan nafsu. Sebab, alat perasa yang disebut panca indra hanyalah bagian dari tubuh manusia, maka manusia tidak perlu menuruti semua kemauan indra, apalagi sampai didikte oleh indra. 

Karena indra pada dasarnya adalah wujud lahir yang memiliki sifat serakah setelah menyaksikan ketakjuban dunia yang serba wah.

Merujuk pada Al-Quran, bagi umat Islam tujuan akhir puasa adalah mencapai takwa; mengendalikan sikap dan perilaku sehingga terhindar dari perbuatan yang melanggar. Nilai-nilai moral adalah salah satu produk penting takwa. 

Dengan puasa manusia bisa merencanakan untuk membentuk kebiasaan yang mampu mengendalikan diri. Kemampuan ini adalah sebuah jalan menuju kemandirian, kematangan pribadi, dan transformasi spiritual.

Para sufi (pendaki Spiritual) menteoritisasi puasa laksana misi pendakian gunung seperti yang dilakukan para aktifis lingkungan atau pecinta alam. Ada para pendaki gunung yang terlatih akan dapat mencapai finis di puncak tertinggi. Ada pendaki yang pada setengah perjalanan rasanya telah sampai puncak, karena kurangnya latihan dan bekal, sehingga telah puas di tengah jalan. Namun ada pula yang tak sampai di tengah perjalanan namun rasanya telah puas walau sedikit telah merasakan dahsyatnya melakukan sebuah petualangan yang indah. 

Ketiga kelompok pendakian di atas, meskipun semua merasa mencapai finish dan derajat kebahagiaan, namun masing-masing berada pada tingkatan yang tidak sama.

Dengan merumuskan kategorisasi yang hampir sama dengan kaum sufi, Al-Ghazali, menyatakan bahwa transformasi spiritual yang mampu membangkitkan diri dalam puasa terdiri atas tiga tahapan atau tingkatan. 

- Tingkatan pertama, puasa orang awam-umum (awam). Puasa dipahami sekadar menahan rasa lapar, haus, dan syahwat pada siang hari saja.

- Tingkat kedua, puasa orang khusus (khawash). Puasa pada level ini dipahami selain secara fisik-biologis (menahan lapar, dahaga, dan syahwat) ditambah pengekangan diri (pancaindra) dari perbuatan dosa.

- Tingkat tertinggi, puasa orang sangat khusus (khawashul khawash). Puasa bukan sekadar menahan rasa lapar, haus, syahwat, pancaindra, melainkan juga seluruh peranti kehidupan manusia (jasmani-rohani). 

Bagi kelompok ketiga ini, misi sosial merupakan salah satu sisi yang juga dilakukan “laku puasa” dengan menyantuni dengan sepenuh hati pada masyarakat keserakat (terbenam dalam lumpur kekusahan dan kesulitan hidup).

       Setiap tiba bulan Ramadan, sudah semestinya dari tahun ke tahun setiap orang mampu meniti jalan pendakian ini secara progresif atau maju. 

Bila puasa tahun lalu masih pada level awam, tahun ini berusaha sekuat tenaga untuk paling tidak berada pada level khusus. Tahun depan syukur dapat di puncak klasemen. Bila diibaratakan sebuah kompetisi olahraga, maka piala hanya dapat dipegang oleh sang juara, yang pasa tahap akhir berada pada klasemen puncak. Puncak klasemen inilah yang akan dapat mempertemukan atau menyatukan seorang diri hamba dengan tuhannya.

Dalam bahasa Jawa disebut manunggaling kawula Gusti, dalam bahasa Ibnu Arabi wahdatul wujud, dan dalam bahasa tokoh sufi dari tanah Jawa Syeh Siti Jenar sebagai wahdatusy syuhud.

Progresivitas untuk mencapai kesadaran tinggi ini penting karena dalam sebuah hadis disebutkan, orang yang amalnya hari ini lebih buruk dari yang kemarin termasuk orang celaka. Orang yang amalnya hari ini sama dengan hari kemarin, ia termasuk orang yang rugi. Dan, orang yang amalnya hari ini lebih baik dari yang kemarin, maka ia orang yang beruntung (HR Bukhari Muslim). 

Hadits ini yang saat ini dipraktekkan dalam sebuah misi bisnis maupun social yang terkenal dengan sebutan target, yang dari waktu ke waktu pasti akan terus dinaikkan.

       Pola laku puasa Ramadan seperti ini akan mampu mencapai garis batas tertinggi dari tujuan puasa, yakni takwa. Takwa dalam arti bukan hanya takut, tetapi kelahiran kesadaran ketuhanan. Yaitu sikap pribadi yang sungguh-sungguh berusaha memahami Tuhan dan menaati-Nya. Dalam konteks inilah totalitas kolektif manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial diuji. 

Kesadaran ketuhanan diuji dalam kehidupan yang berkaitan langsung kepada Allah sekaligus dalam kehidupan nyata antarsesama manusia dan makhluk Allah yang lain.

       Totalitas spiritual dan penyadaran bukan hanya terbentuk lahiriah melainkan juga batiniah, antara wadag dan isi harus serasi. Kedua-duanya harus digerakkan dan diwujudkan sebagai satu kesatuan sehingga mewujud dalam bahasa Al-Quran sebagai insan kamil (manusia sempurna paripurna).

Puasa seharusnya bukan sebatas ritual lahiriyah tetapi bagaimana menjadikan puasa sebagai sarana atau media untuk melakukan takhalli, tahalli, dan pada akhirnya mencapai tajalli. 

Bahkan, dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa merupakan media atau sarana yang paling lengkap untuk melakukan ketiga langkah tersebut. Dalam dunia tasawuf, puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu, yang apabila ia tidak terkendali akan menjadi sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa. 

Jadi ruang lingkup hawa nafsu bukan hanya sebatas upaya mengekang nafsu makan dan nafsu birahi saja. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa itu dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala dosa, yang dalam istilah tasawuf disebut dengan takhalli. Orang yang berpuasa tetapi masih melakukan berbagai dosa, baik dosa lahir maupun dosa batin, berarti belum mengendalikan nafsu. 

Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.” Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral di balik ibadah puasa itu, yaitu berupa takhalli dari dosa lahir dan batin, maka puasanya itu tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja. 

Walhasil, semoga kita benar-benar dapat melaksanakan puasa bukan hanya sebagai tren ibadah, karena Ibadah semestinya tidak hanya dilaksanakan secara formal-ritualistik. Bagian terpenting dalam ibadah adalah pada sejauh mana manusia mampu mengimplementasi pesan yang ada dalam tindakan ibadah ke dalam kehidupan sosial praksis, serta sebagai upaya takhalli jiwa kita.

       Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah tirakat yang bermaksud mendekatkan diri kepada tuhan, berupa perilaku, hati dan pikiran.
Tirakat adalah bentuk upaya spiritual seseorang dalam bentuk keprihatinan jiwa dan badan untuk mencapai sesuatu dengan jalan mendekatkan diri kepada tuhan.
Berpuasa temasuk salah satu bentuk tirakat , dengan berpuasa orang menjadi tekun dan kelak mendapat percikan Cahaya Illahi.
Hidup adalah pendakian spiritual menuju keridhaan Allah. Dibutuhkan ilmu, peta jalan sekaligus peralatan yang memadai agar sampai puncak. Meraih ridha dan ampunannya.

Ramadhan menyediakan semua sarana untuk melakukan pendakian spiritual. Bukan sekedar mendaki dengan langkah kecil, tapi juga dengan langkah-langkah besar. Sehingga kita bisa mencapai derajat “maqomam mahmuda”.

Selamat melakukan pendakian spiritual…, Selamat menjalankan Ibadah Puasa.-

Wassalamu'alaikum.Wr.Wb.

*#kaP
Inisiator / Ketum FSSN Foundation (Forum Silaturahmi Spiritual Nusantara).