Oleh: Arip Musthopa
~Pendiri Komunitas Cinta Indonesia/Mantan Ketum PB HMI~
Saya tak mengenalnya. Apalagi dia kenal saya. Sama sekali tidak. Saya hanya tahu dari ratusan videonya di Youtube dan salah satu bukunya : They Named Him Sontoloyo.
Mardigu mengesankan untuk saya. Bukan karena suara “misterius” dalam videonya, melainkan ide-idenya. Beda. Beda banget. Itu yang pertama saya rasakan. Berbeda dari mainstream, dan berbeda dari banyak pemikir-pemikir lain.
Sebagian idenya bukan hal baru dan tidak orisinal. Saya yakin itu. Tapi itu biasa, karena setiap pemikir pasti dipengaruhi oleh pemikir lainnya, baik yang hidup sezaman maupun pemikir terdahulu.
Salut untuknya karena punya keberanian bersuara beda. Berani mempublikasikan ide-idenya yang nyeleneh. Suatu hal yang tidak semua orang miliki. Banyak orang cerdas, tapi cerdas dan berani, itu jarang terjadi.
Ada resiko besar dibalik keberanian. Untuk hal ini, Mardigu pasti sadar. Tapi resiko tersebut tidak menghentikan niatnya mengedukasi publik. Sebagai intelektual, dia gerah dengan situasi dan memilih untuk lantang bersuara daripada diam dalam kegalauan. Kemunculannya yang tiba-tiba, mengundang curiga. Tapi lagi-lagi, itu biasa.
Dalam beberapa kesempatan, dia bilang bahwa dia adalah “singa tua yang terluka”. Terluka karena bisnisnya di migas terganggu oleh kebijakan sinergi BUMN era Menteri Rini Sumarno. Makanya, dia anti dominasi ekonomi oleh BUMN. Baginya, itu tidak sehat, ladang korupsi atau minimal high cost economy. Mematikan kompetisi dan bisnis swasta. Persis seperti yang dia alami.
Secara garis besar, saya mengklasifikasi pemikiran Mardigu dalam tiga cluster. Pertama, geopolitik dan geoekonomi. Dalam cluster ini, Mardigu “bermain” dengan analisa regional dan internasional. Katanya, sekarang sedang terjadi perang modern, tanpa senjata, antara Amerika Serikat vs China. “Bisakah Indonesia memanfaatkan momentum ini untuk menyalip di tikungan?” Mardigu memprovokasi. Dia gerah dengan “kesan” pejabat publik yang tak paham dengan situasi dan menjalankan kebijakan tidak dengan asumsi “at war”.
Kedua, cluster kedaulatan ekonomi. Mardigu mempromosikan MMT (Modern Monetery Theory) dan TINA (There is No Alternative) sebagai solusi makro ekonomi Indonesia agar berdaulat. Menurutnya, ekonomi Indonesia dalam genggaman IMF dan Bank Dunia (WB), terutama sistem keuangannya. Ini yang membuat Indonesia sulit maju, karena akan terus dihadapkan pada keterbatasan kapital. Indonesia akan terus berutang dari negara lain atau lembaga internasional. Akibatnya, rupiah selalu berpotensi melemah terhadap dollar AS dan mata uang lain, yang otomatis menghapus capaian ekonomi selama bertahun-tahun.
MMT adalah konsep printing money tanpa mengikuti rumus ala IMF dan WB. Printing money untuk sektor produktif dengan bahan baku, teknologi, dan tenaga kerja dalam negeri (apalagi export oriented produknya). Dengan begitu, “hantu” inflasi bisa dihindari. Sedangkan TINA berporos pada dua ide kebijakan : no capital flight ke luar negeri, dan bunga deposito nol persen sehingga dana menganggur (deposito) akan ditarik dari bank dan diinvestasikan.
Masih dalam cluster ini, Mardigu juga mengusulkan e-rupiah dan dinaran, sebagai mata uang digital. Baginya, inilah masa depan uang, karena lebih fair dan bebas dari kendali negara adi kuasa.
Ketiga, cluster ide pemberdayaan UMKM. Tak hanya berwacana, Mardigu take action melalui Santara sebagai solusi modal dan pendampingan. Hal ini seperti men-challenge koleganya, Sandiaga Uno, yang sudah lebih dulu dan terdepan berjuang untuk UMKM.
Terlepas dari benar atau tidak, baik atau buruk ide Mardigu, ide-idenya diperlukan untuk men-challenge pemikiran dan kelompok mainstream yang hingga kini belum berhasil menjadikan Indonesia negara maju dan berdaulat.
Jakarta, 11 Juli 2020
source : kronologi.id