Civic Education di Inggris
Sejarah Negara Inggris banyak diwarnai dengan perebutan kekuasaan dan
konflik antarkerajaan serta perang saudara. Dari masa Romawi, dimana Romawi
menginvasi Britania pada tahun 43 M pada masa pemerintahan Kaisar Claudius,
dan wilayah itu selanjutnya dimasukkan ke dalam Kekaisaran Romawi dengan
nama Provinsi Britania. Selanjutnya saat Romawi runtuh Britania diperintah oleh
para pendatang yang kemudian juga terpecah menjadi beberapa suku, namun pada
abad ke-7, suku-suku ini bergabung menjadi beberapa kerajaan seperti
Northumbria, Mercia, Wessex, Anglia Timur, Essex, Kent dan Sussex. Kerajaan-
kerajaan ini seiring berjalannya waktu saling menakhlukkan dan menguasai
sampai Parlemen Inggris dan Parlemen Skotlandia sepakat untuk menggabungkan
masing-masing kerajaan dalam sebuah kesatuan politik bernama Kerajaan
Britania Raya (United Kingdom) pada tahun 1707. Untuk menegaskan "persatuan politik" tersebut, lembaga-lembaga seperti hukum dan gereja nasional di masing-masing kerajaan tetap terpisah.
Inggris semakin dewasa karena mampu menyelesaikan masalah pergantian
dan perebutan kekuasaan yang terjadi berabad-abad tersebut. Hingga Negara ini menjadi negara industry besar di dunia setelah revolusi industry. Inggris pada
dasarnya adalah sebuah negara industri. Namun, sejak tahun 1970-an terjadi
penurunan dalam sektor-sektor industri berat dan manufacture, dan terjadi
peningkatan dalam sektor industri jasa. Oleh karena perkebangan Inggris yang
cukup baik dalam perekonomiannya, negara ini masuk kategori negara maju
(Harbison dan Myers, dalam Arifin, M. (2003).
Selanjutnya identitas nasional suatu negara akan mempengaruhi budaya
kewarganegaraan masyarakat negara tersebut. Istilah identitas nasional (national identity) berasal dari kata identitas dan nasional. Identitas (identity) secara harfiah berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau jatidiri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain (ICCE, 2005: 23).
Sedangkan kata nasional (national) merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, bahasa maupun non fisik seperti keinginan, cita-cita dan tujuan.
Istilah identitas nasional atau identitas bangsa melahirkan tindakan kelompok (collective action yang diberi atribut nasional) yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk organisasi atau pergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional (ICCE, 2005: 25). Identitas bangsa merupakan manifestasi dari nilai-nilai budaya yang
tumbuh dan berkembang suatu bangsa yang membedakan dengan bangsa lain
(Kaelan, 2007).
Identitas nasional di Inggris disampaikan Daniels bahwa, national identity
is inflected by ‘other forms of cultural-geographic identity, of region and locality’.
If England’s identity was seen to rest in the diversity of landscapes, cultures and
regional identities, the Cotswolds could be identified as the ‘best of England’
because of, not in spite of, its apparent difference from other regions (Brace, C.
1999). Dalam pandangannya, identitas nasional dirubah oleh identitas budaya
geografis, keyakinan, wilayah dan lokalitas lain. Oleh karena itu, pembentukan
identitas budaya Inggris merupakan bentukan dari sejarah percampuran bangsa.
Kebudayaan kewarganegaraan bukanlah kebudayaan modern tetapi salah satunya
bagaimana mengkombinasikan antara kebudayaan modern dan tradisional
(Gabriel A. Almond, 1989).
Pendidikan kewarganegaraan (citizenship eduation) di Inggris mulai
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh sebagai wahana pendidikan
demokrasi pada 1997 yang terbit dalam dokumen yang dikenal dengan “white
paper, excellence in School” yang mencanangkan komitment „to strengthen
education for citizenship and the teaching of democracy in schools’. Terbentuklah
Advisory Group on Citizenship (AGC) dengan tugas untuk mengkaji dan memberi
rekomendasi dalam rangka menyempurnakan kurikulum nasional yang pada
tanggal 22 September 1998 berhasil menyelesaikan laporan akhir AGC dengan
judul Education for Citizenship and the teaching of Democracy in Schools.
Dokumen inilah yang kemudian dijadikan sebagai rujukan dan rambu-rambu
pengembangan dan pelaksanaan citizenship education di Inggris (Winataputra,
US, 2012).
Dalam dokumen tersebut (QCA 1998: 9) citizenship diartikan sebagai
keterlibatann dalam kegiatan public oleh warganegara yang memiliki hak untuk
itu, termasuk debat public dan secara langsung atau tidak langsung dalam
pembuatan hukum dan keputusan negara. Namun, dalam konteks modern, warga
negara itu adalah warna negara demokratis yang terdidik. Hal tersebut ditegaskan
oleh QCA bahwa tidaklah mungkin dicapai suatu demokrasi Inggris yang sehat
dan prospektif, kecuali dikembangkannya Inggris sebagai bangsa yang memiliki
keterlibatan warga negara yang penuh. Oleh karena itu ditegaskan Pendidikan
Kewarganegaraan haruslah menjadi pendidikan untuk membangun jatidiri
kewarganegaraan dengan pusat perhatian pada pengembangan tanggung jawab
sosial dan moral, perlibatan masyarakat dan kemelekpolitikan (Weinberg &
Flinders, 2018).
Tujuan Citizenship Education di Inggris menurut Winataputra U.S. (2012:
16) adalah pendidikan untuk kewarganegaraan, karena itu bukanlah hanya menekankan pada pengetahuan kewarganegaraan dan masyarakat kewargaan, tetapi juga pada pengembangan nilai, keterampilan dan pengertian. Hal tersebut
dilatarbelakangi permasalahan di Inggris yang menemukan sebanyak 25% dari
warganegara berusia 18-24 tahun menyatakan tidak akan turut dalam pemilihan umum pada tahun 1992, dan meningkat menjadi 32% pada pemilihan umum tahun 1997 atau sekitar 55%. Hal tersebut menunjukkan tingkat kemelkpolitikan dan partisipasi warga Negara usia muda sangat mengkhawatirkan perkembangan
demokrasi Inggris ke depan. Oleh karenanya, Pendidikan Kewarganegaraan di Inggris penting untuk menanamkan hak individu dalam sistem demokrasi
(Weinberg & Flinders, 2018).
Pertimbangan dari AGC (QCA. 1998: 22-24) merekomendasikan:
Citizenship Education (CE) menjadi elemen wajib kurikulum yang harus dipenuhi oleh semua sekolah. Hal tersebut diwujudkan sebagai hasil belajar untuk semua jenjang persekolahan dan bukan sebagai suatu program pengajaran atau mata pelajaran, learning outcome nya juga dirumuskan secara spesifik. Kemudian isi CE di tingkat perguruan tinggi mencakup pengetahuan, keterampilan dan nilai
yang relevan pada budaya dan praktik demokrasi. Sedangkan waktu yang
digunakan 5% dari seluruh waktu yang digunakan di persekolahan. Selain itu
sekolah-sekolah mempertimbangkan untuk melakukan kombinasi CE dengan
sejarah dan mengkaitkan dengan keseluruhan isu-isu persekolahan. CE juga diterapkan di sekolah kejuruan. Pelaksanaan CE secara bertahap dan
berkelanjutan. Seluruh unsur terlibat langsung dalam pendidikan anak, antara
politisi, pelayanan masyarakat, wakil rakyat, organisasi keagamaan sampai guru dan orang tua siswa sendiri diberikan pengertian yang jelas tentang CE. Adannya komisi yang bertugas memonitor kemajuan dan bila perlu melakukan perubahan dalam pelaksanaan CE. Dengan demikian jatidiri “citizenship education” model Inggris yang di dalam perspektif internasional (Kerr, 1999) termasuk model “thick citizenship education” yang memiliki visi maksimum yakni “Education FOR
Citizenship” dengan modus “across curriculum”.
Keadaan Pkn di Inggris(UK)
UK, baru benar-benar memikirkan pentingnya pendidikan demokrasi secara sistemik pada tahun 1996 untuk warganegaranya, dan menjadi negara pertama asal imigran yang membangun Amerika Serikat dan mengembangkan pemikiran ”civic Education” disana. Di UK ”citizenship education” mendapat perhatian sebagai pendidikan demokrasi pada 19 November 1997 (QCA, 1998:4) dengan menghasilkan sebuah dokumen yang dijadikan master ideas dan basic paradigm yaitu ”educational for citizenship and the teaching of Democracy in schools” berfungsi sebagai rujukan dan rambu-rambu pengembangan dan pelaksanaan “citizenship education”.
Pkn adalah Keterlibatan siswa dalam Kegiatan Publik
Dalam dokumen tersebut citizenship diartikan sebagai keterlibatan dalam kegiatan public oleh warga negara yang memiliki hak untuk itu, termasuk debat publik dan secara langsung atau tidak langsung, dalam pembuatan hukum dan keputusan negara. Maka yang dimaksud dengan warga Negara adalah “a highly educated citizen democracy” atau warga Negara demokratis yang terdidik, seperti yang ditegaskan oleh the Lord Chancellor bahwa “we should not, must not, dare not, be complacent about the health of and the future of British democracy. Unless we become a nation of engaged citizens, our democracy is not secure” (QCA, 1998:8). Tidaklah mungkin dicapai suatu demokrasi Inggris yang sehat dan prospektif, kecuali dikembangkannya Inggris sebagai bangsa yang memiliki keterlibatan warganegara yang penuh.
3 Aspek dalam Pkn di Inggris Guna Membangun Jati Diri(Tanggung Jawab Sosial-Moral-Keterlibatan Masy dan Melek Politik)
Oleh karena itu ditegaskan bahwa “Citizenship education must be education for citizenship”- pendidikan kewarganegaraan haruslah menjadi pendidikan untuk membangun jati diri kewarganegaraan; dengan pusat perhatian pada tiga “strands” atau garapan, yakni “social and moral responsibility, community involvement and political literacy”- atau pengembangan tanggung jawab sosial dan moral, perlibatan kemasyarakatan, dan kemelekpolitikan.
Bagi para siswa diyakini akan dapat memberdayakan mereka untuk berpartisipsi secara efektif dalam masyarakat sebagai “...active, informed, critical and responsible citizens.”
Di lain pihak bagi guru akan dapat memfasilitasi mereka untuk menjadikan “citizenship education” yang benar-benar “coherent” secara intelektual maupun secara kurikuler dalam konteks “citizenship education” di sekolah. Sementara itu, bagi sekolah diyakini akan menjadi dasar yang kuat untuk mengkoordinasikan proses pembelajaran dalam kaitannya dengan kegiatan dalam masyarakat lokal sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengembangan “citizenship education” untuk para siswa di sekolah itu. Sedangkan untuk masyarakat, diyakini bahwa warganegara yang aktif dan melek politik akan dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap kegiatan pemerintahan dan masyarakat dalam berbagai tingkatan.
Kurikulum Silang di Sekolah Inggris
Pada akhirnya juga diyakini bahwa “...a citizenship education which encouraged a more interactive role between schools, local communities, and youth organisations could help to make local government more democratic, open and responsive.”
Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan untuk kewarganegaraan, karena itu bukanlah hanya menekankan pada pengetahuan kewarganegaraan dan masyarakat kewargaan, tetapi juga pada pengembangan nilai, keterampilan, dan pengertian.
Jatidiri “citizenship education” model UK yang di dalam perspektif internasional (Kerr:1999) termasuk model “thick citizenship education” yang memiliki visi maksimum yakni “education FOR citizenship” dengan modus “across curriculum”.
Referensi
Winataputra & Dasim Budimansyah (2007) Civic Education (Konteks Landasan, Bahan
Ajar dan Kultur Kelas.
Abdul Azis & Sapria, (2011) Konsep, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan
source : hadiriyanto.blog