Ticker

6/recent/ticker-posts

Kontroversi Makna Kebebasan di Piala Dunia 2022 Qatar | Alwi Sahlan

Piala Dunia 2022 di Qatar telah dimulai. Pesta olahraga bergengsi dunia yang melibatkan 32 tim dari 32 negara ini begitu disambut gegap gempita oleh seluruh warga dunia tak terkecuali di Indonesia.
Namun ada beberapa hal yang mencolok dan tak lazim pada gelaran olahraga bergengsi yang memakan biaya hingga 3000 Trilyun ini, yaitu di mana pemerintah Qatar melarang penjualan dan penggunaan alkohol dan praktik LGBT di dalam dan sekitar stadion.. 

Hal inipun sontak mendapatkan reaksi dan tanggapan beragam dari negara negara di dunia terutama para aktivis HAM serta negara Barat(Amerika dan Eropa), di mana alkohol dan praktik LGBT bisa dibilang sudah menjadi budaya dan asupan wajib bagi mereka para konsumen minuman beralkohol dan pembela HAM.

Memang sepanjang pagelarannya, baru kali ini piala Dunia terjadi pelarangan alkohol dan LGBT. Ini juga menjadi catatan sejarah baru bagi Qatar sebagai tuan rumah karena untuk pertama kalinya Piala Dunia digelar di negara Timur Tengah. Namun, tonggak sejarah itu juga ikut menjadikan turnamen empat tahunan kali ini penuh kontroversi, mulai dari isu LGBT hingga penonton bayaran. Namun saya ingin membatasi pembahasan saya pada isu kebebasan. Yaitu HAM di Barat dan di Islam, yaitu bagaimana sudut pandang kebebasan itu dari masing-masing sudut pandang.

Terkait:

Makna kebebasan, definisi kebebasan, konsep kebebasan, arti kebebasan, hak asasi kebebasan, filsafat kebebasan
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HAM DI DUNIA INTERNASIONAL 
Hak asasi manusia adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut. Hak asasi manusia juga tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Hak asasi manusia biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta. Dalam terminologi modern, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil politik yang berkenaan dengan kebebasan sipil (misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan berpendapat), serta hak ekonomi, sosial dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak atas perumahan).

Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut “dianugerahkan secara alamiah” oleh alam semesta, Tuhan, atau nalar. Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak asasi manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam “kehidupan bangsa”, dan pecahnya perang pun belum mencukupi syarat ini. Selama perang, hukum kemanusiaan internasional berlaku sebagai lex especialis. Walaupun begitu, sejumlah hak tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun, seperti hak untuk bebas dari perbudakan maupun penyiksaan.

Masyarakat kuno tidak mengenal konsep hak asasi manusia universal seperti halnya masyarakat modern. Pelopor sebenarnya dari wacana hak asasi manusia adalah konsep hak kodrati yang dikembangkan pada Abad Pencerahan, yang kemudian memengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis. Konsep hak asasi manusia modern muncul pada paruh kedua abad kedua puluh, terutama setelah dirumuskannya Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) di Paris pada tahun 1948. Semenjak itu, hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi semacam kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global. Pelaksanaan hak asasi manusia di tingkat internasional diawasi oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Badan-Badan Traktat PBB seperti Komite Hak Asasi Manusia PBB dan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, sementara di tingkat regional, hak asasi manusia ditegakkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, serta Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk Afrika. Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) sendiri telah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia saat ini.

SEJARAH HAM DI BARAT 
Sejarah HAM atau Hak Asasi Manusia berawal dari dunia Barat (Eropa).Serorang Filsuf Inggris pada abad ke 17 ,John Locke,merumuskan adanya hak alamiah (natural right) yang melekat pada setiap manusia,yaitu hak atas hidup,hak kebebasan dan hak milik. Pada masa itu,hak masih terbatas pada bidang sipil (pribadi) dan bidang politik. 

Sejarah perkembangan HAM ditandai dengan adanya tiga peristiwa penting di dunia Barat, yaitu Magna Charta,Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis.

MAGNA CHARTA (1215)
Piagam perjanjian anatara Raja John dari Inggris dengan para bangsawan disebut Magna Charta. Isinya adalah pemberian jaminan beberapa hak oleh raja kepada para bangsawan beserta keturunannya,seperti hak untuk tidak dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan pengadilan. Jaminan itu diberikan sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang telah diberikan oleh para bangsawan. Sejak saat itu,jaminan hak tersebut berkembang dan menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris.

Revolusi Amerika (1776)
Perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat saat melawan penjajahan Inggris disebut Revolusi Amerika. Declarational of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan Amerika Serikat menjadi negara merdeka pada tanggal 4 Juli 1776 merupakan hasil dari revolusi itu.

Revolusi Prancis (1789)
Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya sendiri (Louis XVI) yang telah bertindak sewenang-wenang dan absolut. Declaration droits de fhomme et du citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) dihasilkan Revolusi Prancis. Pernyataan ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite). Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai HAM makin luas. Sejak permulaan abad ke-20, konsep hak asasi berkembang menjadi empat macam kebebasan (The Four Freedom). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Rooselvelt.

Keempat macam kebebasan itu meliputi :

a.Kebebasan untuk beragama (freedom of religion);
b.Kebebasan untuk berbicara dan berpendapat (freedom of speech);
c. Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want); 
d. kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).

Lihat : 

HAM DI BARAT DAN ISLAM
Jika kita berbicara tentang makna Kebebasan maka ada dua sudut pandang yang menonjol antara keduanya, di mana Barat yang mengagungkan HAM versi mereka menganggap bahwa kebebasan itu adalah hak yang telah dibawa manusia sejak lahir, dan mereka memaknainya dengan kebebasan tak terbatas ala binatang ternak, di Piala Dunia 2022 ini terbukti dengan pembelaan mereka pada kaum LGBT, dengan memasang simbol pelangi di ban kapten, ada pula tim Jerman yang menutup mulut tanda boikot jelang laga vs Jepang. Tak sedikit para aktivis HAM dan selebritis yang ikut mengecam kebijakan non alkohol dan anti LGBT Qatar 2022. Namun tetao saja Qatar tidak mengizinkan penggunaan simbol itu yang bahkan siapapun dilarang masuk stadion jika menggunakan simbol²nya. Sebagai tamu dan tuan rumah hendaknya saling ada saling pengertian demi kelancaran turnamen dunia tersebut.
Mereka mengecamnya dengan mengatakan hal ini melanggar HAM. Sedangkan dalam Islam kebebasan itu adalah sesuatu yang terbatas sebab Islam memaknai kebebasan hakiki adalah pembebasan dari hawa nafsu, maka hal hal yang bersifat keinginan dan syahwat dunia harus ditekan dan dikendalikan, tidak untuk dimatikan. Kebebasan yang terukur dan pada tempatnya.

Sikap Toleransi Barat terhadap kaum LGBT adalah toleransi tak terbatas, namun Islam tidak Menganggap sebagai kebebasan, tapi penyimpangan, karena terlalu mengeksploitasi hawa nafsu kebinatangan yang seharusnya dikekang. Lagipula Tuhan telah telah menjadikan manusia iitu berpasang pasangan, bukan jeruk makan jeruk.

Islam menganggap jika keinginan hawa nafsu itu diikuti maka akan dapat membawa pada ekses negatif keburukan, bahkan membawa manusia pada jurang kehancuran.  
Tulisan ini saya tutup dengan mengutip QS Yusuf ayat 43, sbb : 

وَمَآ   أُبَرِّئُ   نَفْسِىٓ   ۚ   إِنَّ   النَّفْسَ   لَأَمَّارَةٌۢ   بِالسُّوٓءِ   إِلَّا   مَا   رَحِمَ   رَبِّىٓ   ۚ   إِنَّ   رَبِّى   غَفُورٌ   رَّحِيمٌ   ﴿يوسف:٥٣﴾

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”

Oleh.Alwi Sahlan
Foto penulis bersama ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar